Jangan Anggap Sepele, Hukum Istri Berhutang Tanpa Izin Suami


Sebuah kehidupan rumah tangga tidak semuanya dijalankan dengan terbuka, saling mengerti persoalan yang dihadapi kedua belah pihak terutama dalam masalah ekonomi, baik dari pihak suami maupun dari pihak istri. Dalam pembahasan kali ini adalah persoalan rumah tangga yang mana jika didapati kejadian istri BERHUTANG pada orang tanpa seizin dan sepengetahuan suami, ditinjau dalam perspektif norma agama Islam.

Semisal: Seorang istri berhutang kesana kesini untuk mendapatkan sejumlah uang tanpa sepengetahuan dan izin suami. Tentu akan muncul masalah dikemudian harinya, sebab pada dasarnya adalah 'seseorang tidak akan berhutang apabila tidak kekurangan harta'. Sedangkan harta istri adalah apa yang diberikan oleh suami, atau hasil pekerjaan/ usaha istri yang diketahui suaminya.

Dapat dimungkinkan istri berhutang pada renternir yang menimbulkan riba dan mengakibatkan dosa riba. Atau juga akibat istri berhutang pada orang lain dan tidak bisa membayar mengakibatkan orang yang dihutangi menderita. Maka dalam hal ini istri sudah melakukan hal dzolim pada orang lain. Dan kedzoliman itu bisa semakin besar mengikuti dampak yang diakibatkan berhutang tersebut.

Sebuah pertanyaan yang sering muncul dimasyarakat dan ingin mendapatkan jawaban disandarkan pada norma agama sebagaimana pertanyaan berikut:
# Bagaimana tentang utang istri ini, apakah suami wajib melunasinya,
#Sebenarnya, bolehkah seorang istri berutang tanpa sepengetahuan suaminya?
# Apakah suami istri menanggung utang istri?
Kembali ke pertanyaan, apakah utang termasuk bagian dari nafkah?

Mengutip konsultasisyariah, kita simak batasan nafkah,
Hadits Rosululloh, dari Muawiyah bin Haidah radhiyallahu ‘anhu, beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
"Ya Rasulullah, apa hak istri yang menjadi tanggung jawab kami?"

Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ اكْتَسَبْتَ وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ
“Engkau memberinya makan apabila engkau makan, memberinya pakaian apabila engkau berpakaian, janganlah engkau memukul wajah, jangan engkau menjelek-jelekkannya (dengan perkataan atau cacian), dan jangan engkau tinggalkan kecuali di dalam rumah.” (HR. Ahmad 20013, Abu Daud 2142, dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).

Sedangkan didalam Fatawa Islam ditegaskan,
والنفقة تشمل : الطعام والشراب والملبس والمسكن ، وسائر ما تحتاج إليه الزوجة لإقامة مهجتها ، وقوام بدنها
"Nafkah mencakup: makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan segala sarana yang menjadi kebutuhan istri untuk hidup dengan layak. (Fatawa Islam no. 3054)".

Berdasarkan pengertian di atas, utang istri bisa kita bagi menjadi 2:

[1] Utang karena untuk mencukupi kebutuhan sekunder/ pokok hidupnya dan anak-anaknya. Misalnya, suami selama berbulan-bulan tidak memberikan nafkah kepada istrinya, kemudian sang istri berutang untuk bisa mendapatkan makanan. Dalam posisi ini, suami wajib menanggung utang istrinya. Karena hakekatnya utang itu disebabkan suaminya yang tidak mencukupi kebutuhan istrinya.

[2] Utang di luar kebutuhan hidup, Misalnya seorang istri berhutang untuk menambah perabotan, atau hutang untuk kebutuhan keluarga saudara, dan lain sebagainya yang bukan kewajiban istri pada anak atau suami.

# Apakah utang ini masuk bagian nafkah?, maka jawabnya adalah Hutang semacam ini bukan termasuk bagian nafkah, sehingga suami tidak wajib melunasinya.

Didalam kitab Fatawa Syabakah Islamiyah dinyatakan,
فلا يجب على الزوج قضاء دين زوجته، إلا أن يتبرع بذلك إحسانا إليها، طالما كان دينها خاصا بها، ولم يكن بسبب إهماله في النفقة الواجبة عليه شرعا
Suami tidak wajib melunasi utang istrinya, kecuali jika suami berbaik hati memberikan santunan untuk istrinya. Selama utang itu terkait pribadi istrinya semata, dan tidak disebabkan sikap suami yang menelantarkan istrinya dalam memberikan nafkah wajib. (Fatwa Syabakah Islamiyah, no. 295159)

Kesimpulan persoalan ini sesuai hukum Islam sebagaimana juga ditulis oleh Muhammad Fatkhudin seorang penulis buku -buku yang menjawab, Istri melakukan hutang untuk pemenuhan kebutuhan keluarga, maka diperbolehkan dengan izin suami terlebih dahulu. Sedangkan hutang istri tanpa izin suami untuk kebutuhan mendesak, maka tanpa melakukan izin dahulu karena keadaan darurat diperbolehkan. Namun ketika keadaan sudah memungkinkan maka istri tetap wajib izin, selanjutnya jika istri hutang tanpa izin suami untuk kebutuhan tambahan, bukanlah menjadi tanggungjawab suami untuk melunasinya, karena istri sudah berbuat nusyuz.

Penulis
Sifaul Anam, S.PdI
Ketua Ormas Orang Indonesia Bersatu